Ortodok
Rumah itu sangat besar, namun tak tampak suatu aktivitas apapun keculi keheningan yang meramaikannya. Halaman rumahnya terdapat berbagai macam bunga yang tak terawat. Entah mengapa, sang pemilik yang malas ataukah malah tidak ada penghuninya? Perasaan ini selalu terbesit ketika ada seseorang yang melintas di rumah itu. Ah tidak……..ada dua gadis yang berkerudung sedang mengetuk pintu rumah itu, akhirnya ada seseorang yang membukakan pintu, entah siapa.
“Syukurlah kalian lulus dari pesantren itu” kata sorang laki-laki paruh baya, yamg sepertinya dia adalah ayahnya. hem,,, siapa saja yang melihat kumis tebalnya itu, pasti ketakutan, selain mukanya telah memang tercipta sangat sangar, penampilannya sangat menunjukkan bahwa dia adalah orang yang tak suka ditentang. Jubah panjang menutupi mata kakinya tak pernah lupa ia pakai, terkadang ia memakai surban ditambah tasbeh yang selalu berputar di sela jari-jarinya yang kuat. kedua gadis itu hanya tersenyum. “duduk sini, ayo kita bicarakan tentang universitasmu” katanya lagi. “biarkan anak-anak istirahat dulu mas, kasian” kata istrinya yang muncul dari dapur, tampak wajahnya kusut meskipun sebenarnya ia adalah wanita yang cantik. Sang suami tak pernah menghendakinya untuk merawat wajahnya yang elok itu. Ia bukanlah wanita pembantah, ia adalah wanita yang berbakti dan berhati lembut, ia tak pernah ingin membantah. “lebih cepat lebih baik” sanggah suaminya itu, sang istri diam tak bersuara lagi. Lalu, kedua gadis itu duduk di sofa depan ayahnya dengan muka tertunduk. “sudah ayah siapkan universitas untuk kalian, pesantren di jogja ada sekolah lanjutannya, jadi kalian kesana saja, dan jangan membantah” kata ayahnya mantap. Kedua gadis kembar itu tak bergeming. “tapi ayah,,,,,” serla mencoba mengakatan bahwa ia menginginkan universitas pilihannya, tetapi ia sadar sang ayah tak pernah mau di bantah, kalau tidak ingin satu tamparan menghantam pipi mulusnya itu. Serla….gadis manis ini berkulit sawo matang seperti kembarannya serli, akan tetapi meskipun wajah mereka identik sama, pandangan hidup mereka berbeda. Serla cenderung selalu ingin mengungkapkan kemauannya yang sangat bertolak belakang dengan ssang ayah, akan tetapi ia selalu gagal mencapai usahanya itu. Hobbinya mengumpulkan foto teman-teman ceweknya, buat kenang-kenangan itu jawabannya jika serli menanyakan buat apa foto-foto itu. “ayah tak mengerti kata tapi, lebih baik kalian ke kamar saja” celah sang ayah tanpa memperdulikan kata-kata serla. Tanpa sepatah kata lagi, keduanya langsung pergi ke kamar. Serla langsung merapikan segala barang bawaannya yang dibawanya dari pesantren. Si serli menghela nafas dalam-dalam. “ kenapa seolah kita ini bukan manusia la? Kenapa kita selalu nggak bisa menentukan kemauan kita?apakah hanya karena prinsip itu?”kata serli tampak kecewa dengan tindakan ayahnya, “ ini bukan hidup kita ly, ini hidup ayah!” kata serla sambil merapikan bajunya kedalam lemari. “ prinsip ayah yang mengharuskan kita selalu di pesantren sepertinya akan selalu ada, dan kita yang seperti robot ini nggak akan pernah hidup di alam kebebasan “ serli tampak kesal sekali. “ aku tahu apa yang akan kulakukan. Kita turuti saja ayah!” “ maksudmu?” serly tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran serla. “ lihat saja nanti! “kata serla sambil melirik misterius ke serly. “ jangan macam-macam la” serla bergegas ke dapur mendengar kata-kata si serli.
Seminggu kemudian……“ayah, serla mau ke rumah tiwi….boleh?” tanyanya ketika sang ayah sedang duduk di ruang tamu. “nggak boleh!”jawab ayahnya sinis. “mau ambil buku buat ujian masuk kuliah di jogja itu yah.” Katanya lagi, entah apa yang terjadi, gadis itu tiba-tiba berani berbicara sok akrab kepada ayahnya. “minta temani serly”kata ayahnya yang akhirnya setuju. Serla pun mengangguk mantap lalu segera beranjak pergi. Ia mengeluarkan motornya, tak lupa serly di boncengnya. “ mau kemana la?” “katanya kamu pengen bebas?” serli melihat saudara kambarnya itu tersenyum puas lewat kaca spion motor “maksudnya?” Tanya serly curiga. “ gak usah banyak Tanya deh ly” katanya, serlypun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk diam saja. Akhirnya, sampailah mereka berdua di kostan temannya, tiwi. Ternyata tiwi lagi asyik merokok di kamarnya, serly tampak kaget melihat sahabat serla itu yang lengkap dengan baju serba ketatnya. “ada apa la?” katanya menyambut kedatangan mereka. Tanpa disuruh, serla langsung membuka jilbabnya dan duduk di sebelah tiwi. “ mau apa kamu la?” Tanya serly melihat tingkah saudaranya itu. “diem ah” bentak serla. Serly langsung menggeret serla keluar. “ apa sih maksudnya la? Siapa dia?”kata serly geram melihat tingkah serla. “ dia itu temen kita dari pesantren tapi beda kelas, tenang aja lagi ly, dia gak gigit kok.hahaha” kata serla berlagak innocent. “ kita nggak boleh kayak gini, dosa la” kata serly mulai gusar melihat tingkah serla “ ah…. Ganggu aja kmu tuh” kata serla seraya kembali ke kamar tiwi meninggalkan serly. “ bosen nih yank, nonton film biasanya yuk” kata serla “ok” kata tiwi sambil membuka laptopnya, dan ternyata mereka berdua nonton blue film. Mereka berdua tampak mesra seolah sepasang kekasih. Mereka menghayati film itu. “ ya Allah la……………..” jerit serly ketika melihat kemesraan serla dan tiwi, ia langsung menarik lengan serla. “ kamu menjijikkan tau nggak? Kamu udah mempermalukan dirimu sendiri, kamu itu,,,,,,kenapa harus sama cewek la…dasar nggak punya harga diri” bentak serly sangat marah, wajahnya tampak memerah seperti mau meledak “ daripada kamu? Apa-apa dipendam, lagian ini bukan hal yang tabu kan di pondok? Jangan munafik kamu ly, aku pernah denger kalau kamu juga kayak gini.” Kata serly membela diri, ia tersenyum puas mengatakan hal itu kepada serli “ fitnah……semua itu fitnah,,,astagfirullah la….kamu kayak binatang.” Lalu serly berlari sambil menghentikan bis di sepan kosan tiwi. Serla pun melanjutkan aksinya, tanpa peduli nasib serli entah dimana.
Tiba di depan rumahnya, serly ragu-ragu hendak masuk ke rumahnya. Lalu, dia memutuskan untuk pergi ke mall saja. Di mall dekat rumahnya ia berjalan sendiri, tanpa menoleh pada barang-barang konsumsi. Dia duduk terdiam di salah satu sudut mall. Ia merasakan keheningan dalam keramaian, ia kaget mengingat perilaku saudara kembarnya tadi, lama terduduk diam sendiri, ia merasa ada bayangan seseorang yang berdiri di depannya. “ lagi apa kamu ly?” Serly kaget mendengar pertanyaan itu, lamunannya buyar, dan ternyata tante rere yang super judes dan sok tau. “ ah, nggak apa-apa tante, saya hanya maen-maen saja” jawab serly dengan gugup. “hayooooooooo…. Nunggu cowoknya yah?hem… katanya keluarga anti modern?” ejek tante rere dengan nada sinis dan senyum yang bermakna sindiran dan cemoohan. Serly hanya diam, sambil lalu meninggalkan tante judes itu. Ia berjalan terus, entah kemana. Lama sekali ia berjalan menelusuri jalan, hingga tak terasa adzan maghrib berkumandang. “ ya Allah, pasti aku dimarahin nih, duh gak kerasa udah maghrib” pikirnya dalam diam. Ia dilanda kebingungan antara amukan ayahnya dan nasib hidupnya di jalan itu, ia putuskan untuk pulang saja dan menerima semua resiko. Tapi, sebelumnya ia sholat terlebih dahulu di masjid dekat mall tersebut.
Pukul menunjukkan jam 19.00 wita. Ia mulai ragu ketika hendak mengetuk pintu rumahnya. Ia takut, serasa ingin menangis saja. Namun, akhirnya ia beranikan diri. Lalu, sang ibu membukakan pintu, wajahnya sangat menampakkan kesedihan yang amat dalam, tetesan air mata di pipinya meyakinkan serli bahwa serla telah pulang terlebih dahulu. Ia pun masuk, di ruang tamu ia melihat ayahnya yang sedang marah-marah, ia melihat pula serla tersungkur menangis di sudut kursi karena ditampar ayahnya. “ini lagi… kamu ke mall tadi kan?? Dasar anak bangsat.. memalukan” langsung saja ia menghampiri serly lalu tanpa pikir panjang ia menamparnya. Serly terjatuh tersungkur di sudut meja. “ serly nggak salah ayah.” Terlihat serla mulai bangkit dari keterpurukannya, meraung-raung tangisnya, beringsut memohon sambil bersimpuh di hadapan ayahnya. Sang ayah kaget mendengar perkataan serla, ia memperhatikannya lekat-lekat. “ serla ngajak serly tadi kekostan tiwi, tapi serli marah ketika melihat kemesraan serla dan tiwi” wajah sang ayah langsung berubah menjadi kemerah-merahan. Ia langsung menghantam tubuh serla dengan meja yang ada di depannya, namun luput. Ia mulai menamparnya lagi, namun segera sang ibu menyeret kedua putrinya ke kamar agar terhindar dari amukan ayahnya. “ bangsat, mau ditaruh dimana mukaku ini dalam pengajian nanti. Benar-benar anak tak berharga” ucap sang ayah marah beringasan, sampai-sampai surban di kepalanya tak beraturan. Tangannya masih saja menggenggam, nafasnya masih tersengal, emosi menguasai dirinya.
Keesokan harinya, tampak serla tergeletak di ruang rumah sakit ditemani ibu dan serly. Wajahnya lebam, berwarna hijau dan ungu kulitnya kini. Ia tidak bisa tidur, ia selalu membuka matanya yang selalu ditetesi air mata “ mulai kapan kamu suka….. suka sama sesama jenis ndug?” Tanya ibunya tampak kawatir, serla menangis tersedu-sedu mendengar kata-kata ibunya. “semua sudah terlanjur bu, mulai waktu kelas 3 sma di ponpes bu.” Ibunya pun tampak menangis mendengarnya. “kamu harus sembuh nak, berobat yah” katanya sambil mengusap dahi putrinya itu. Serla hanya mengangguk. “ semangat ya la” hibur serly yang sangat prihatin dengan keadaan kembaannya itu. “heem” katanya.
Akhirnya serla pun mengikuti terapi psikologi untuk beberapa bulan ke depan untuk menyembuhkan penyakitnyasebagai lesbian. Namun bagi ayahnya prinsip adalah prinsip, ia tidak akan pernah mengubah pendiriannya. Meskipun sang putri tersiksa, menurutnya nama baik dalam organisasinya adalah yang terpenting. Mereka berdua masih harus menjalani kehidupannya di pesantren, tanpa mampu berkata apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar